Kediri, tipikor.web.id – "Apa menariknya boneka ini?" itulah kalimat spontan yang terlontar saat melihat dua boneka mungil yang dibeli putri saya di gerai POP MART, salah satu outlet yang kini ramai diserbu anak muda di mal ION Orchard, Singapura, beberapa pekan lalu. Dua boneka itu bernama “Cry Baby” dan “HaciPupu”. Sesuai namanya, “Cry Baby” digambarkan sebagai bayi yang menangis dengan tetesan air mata tebal dan ekspresi lucu. Sedangkan “HaciPupu” tampil sebagai bocah lelaki pemalu berwajah memerah.
Boneka-boneka ini adalah bagian dari jajaran produk POP MART, perusahaan asal Tiongkok yang sedang naik daun di ranah mainan koleksi. Saya yang lahir di era generasi X, terus terang, baru pertama kali mengenalnya. Dunia ini benar-benar digandrungi oleh generasi muda, terutama Gen Z.
POP MART menawarkan konsep penjualan yang tak biasa. Mereka memperkenalkan sistem “blind box” alias kotak kejutan. Pembeli tak tahu karakter apa yang akan diperoleh karena setiap kotaknya berisi figur misterius. Ini mirip undian berhadiah, namun hadiahnya adalah karakter menggemaskan dengan desain penuh daya tarik. Inilah yang membuat POP MART begitu diminati dan mengundang rasa penasaran banyak orang.
Lalu, pelajaran pemasaran apa yang bisa dipetik dari kesuksesan POP MART? Setidaknya ada tiga poin utama.
Pertama, elemen kejutan yang menyenangkan. POP MART berhasil menciptakan pengalaman belanja yang tak terduga. Kotak misteri mereka membangkitkan rasa penasaran dan menciptakan efek FOMO (Fear of Missing Out) yang membuat pembeli ingin terus mengoleksi. Dalam buku Contagious: Why Things Catch On karya Jonah Berger, dijelaskan bahwa “kejutan” adalah salah satu faktor penting yang membuat sesuatu mudah diingat dan viral.
Kedua, desain yang estetik dan eksklusif. Setiap karakter boneka POP MART dibuat dengan gaya khas, lucu, dan penuh detail. Produk ini bukan sekadar mainan, tapi juga aksesori yang bisa dipajang di meja kerja, lemari, bahkan dijadikan gantungan tas.
Ketiga, strategi edisi terbatas. Beberapa seri hanya diproduksi dalam jumlah terbatas, sehingga semakin sulit dicari, semakin tinggi pula nilainya di mata para kolektor.
Keberhasilan POP MART mengangkat nama sang pendiri, Wang Ning, sebagai salah satu pebisnis muda yang paling bersinar. Menurut laporan dari E! Online yang merujuk pada data Forbes, kekayaan Wang Ning telah mencapai USD 22,1 miliar atau sekitar Rp 359 triliun. Kekayaan ini terus melonjak sejak POP MART berdiri pada 2010.
Salah satu karakter andalan POP MART adalah Labubu, hasil kolaborasi dengan seniman asal Hong Kong, Kasing Lung. Boneka ini dikenal dengan telinga runcing, senyum nakal, dan gigi yang mencolok. Popularitas Labubu melambung setelah Lisa BLACKPINK terlihat memamerkannya di media sosial, mendorong penjualannya secara global.
Kesuksesan POP MART juga terlihat dari pencatatan saham perdananya di Bursa Efek Hong Kong pada 2020. Saham perusahaan ini langsung melonjak hingga 79 persen pada hari pertama perdagangan, menjadikan IPO tersebut salah satu yang paling diperhatikan. Kini, POP MART terus memperluas sayap ke pasar internasional, termasuk Asia Tenggara.
Inti dari keberhasilan POP MART terletak pada kemampuan mereka membentuk USP (Unique Selling Proposition) yang kuat. Tidak hanya berbeda, tetapi keunikan produknya juga menyentuh sisi emosional konsumen.
Merancang USP bukan sekadar tampil beda, tetapi menciptakan identitas unik yang melekat di benak konsumen. POP MART membuktikan bahwa kombinasi kejutan, estetika, dan kelangkaan dapat menciptakan merek yang ikonik.(red.al)
0 Komentar