Agar Penanganan Cepat dan Banyak Nyawa Terselamatkan: Perjuangan dr Tri Maharani Melawan Bisa Ular

 

Kota Kediri,     tipikor.web.id      – Nama dr Tri Maharani atau yang akrab disapa dr Maha sudah tak asing di dunia medis, khususnya dalam bidang toksikologi. Dedikasinya terhadap penanganan gigitan ular telah menyelamatkan banyak nyawa di berbagai daerah Indonesia. Kini, ia bertekad mencetak lebih banyak dokter spesialis toksikologi demi mempercepat penanganan dan mengurangi angka kematian akibat bisa ular.

Di ruang tamunya yang berada di Kelurahan Pakelan, Kecamatan Kota, dr Maha menata puluhan ular yang telah diawetkan. Ular-ular itu merupakan sampel dari berbagai kasus yang pernah dia tangani.

“Ini semua ularnya dari pasien-pasien saya. Jenisnya beragam, tergantung dari daerah asal gigitan,” ujarnya sambil tersenyum.

Kecintaan dr Maha terhadap dunia hewan sudah muncul sejak kecil. Latar belakangnya sebagai anak seorang tentara dan perawat membuatnya sering sendirian di rumah. Hewan-hewan peliharaan menjadi teman masa kecilnya. Sejak saat itu, ia sudah memupuk cita-cita menjadi dokter.

Namun, menjadi pakar toksikologi bukanlah sesuatu yang ia rencanakan sejak awal. Keahlian itu mengalir begitu saja, yang ia yakini sebagai panggilan Tuhan untuk menyelamatkan banyak nyawa.

Perjalanannya di bidang toksikologi dimulai pada 2012, usai menempuh pendidikan dokter spesialis di Belgia. Ia tergerak mempelajari lebih dalam ketika seorang ahli toksin dari Malaysia menyatakan bahwa penanganan gigitan ular di Indonesia masih keliru.

Selama bertugas di daerah-daerah rawan seperti Nganjuk, Bondowoso, hingga Madiun, dr Maha melihat langsung tingginya angka kasus gigitan ular yang terjadi hampir setiap hari. Keprihatinan itu membawanya ke Australia pada 2017, untuk memperdalam ilmu toksikologi dan mempelajari lebih lanjut tentang karakteristik ular berbisa dan penanganannya.

“Setiap hari saya menghitung sisik ular untuk membedakan mana yang berbisa dan tidak,” kenangnya.

Ilmu dari Australia menjadi bekalnya saat menangani banyak kasus di tanah air. Salah satu kasus paling ekstrem adalah saat seorang anggota BIN tergigit ular death adder di Papua. Untuk menyelamatkannya, diperlukan satu botol anti-bisa senilai Rp 170 juta.

Melihat tingginya biaya dan terbatasnya stok anti-bisa di Indonesia, dr Maha bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mengembangkan anti-bisa lokal. Kini, hampir semua jenis ular berbisa di Indonesia sudah tersedia penangkalnya.

Namun, persoalan lain muncul: keterbatasan jumlah dokter yang memahami toksikologi. Untuk mengatasinya, dr Maha meluncurkan aplikasi Virtual Poison Center, yang dapat menghubungkan pasien tergigit ular dengan dokter ahli secara cepat, meski dari daerah yang berbeda.

“Tujuannya agar penanganan bisa lebih cepat dan nyawa lebih banyak terselamatkan,” jelasnya.

Tidak berhenti di situ, ia juga berencana mendirikan sekolah khusus toksikologi. Selain untuk mencetak dokter-dokter ahli, sekolah ini diharapkan bisa mematahkan mitos dan penanganan mistis yang masih banyak berkembang di masyarakat.

“Ilmu ini mahal, sekali sekolah bisa habis ratusan juta. Tapi saya yakin, dengan dukungan dan doa, saya bisa mendirikan klinik dan sekolah toksikologi. Agar tidak ada lagi nyawa yang melayang hanya karena tidak tahu cara menangani gigitan ular,” pungkasnya. (RED.A)

Posting Komentar

0 Komentar