Aksi Adu Suara di Pesisir Pasuruan Tuai Sorotan: Ancaman Serius Bagi Satwa Laut dan Terumbu Karang

 


Surabaya, tipikor.web.id– Sebuah video pertunjukan adu sound system atau battle sound horeg di sepanjang pantai Pasuruan viral di berbagai platform media sosial. Dalam rekaman tersebut, tampak sejumlah kapal dengan muatan speaker besar bersaing memutar musik keras di kawasan pesisir, menciptakan suara menggelegar yang menggema hingga ke tengah laut.

Fenomena ini menuai kecaman dari berbagai kalangan, khususnya pemerhati lingkungan laut. Salah satunya adalah National Oceanic and Atmospheric Administration (NOAA), lembaga riset kelautan asal Amerika Serikat, yang mengungkap bahwa kebisingan buatan manusia seperti ini dapat membahayakan satwa laut.

“Suara dengan frekuensi tinggi dapat mengganggu navigasi alami paus, lumba-lumba, hingga menyebabkan stres berat dan gangguan perilaku. Dalam kondisi ekstrem, dapat berujung pada kematian,” tulis NOAA dalam unggahan yang dikutip dari akun Instagram @fakta.indo.

Lebih dari itu, getaran intens dari suara keras tersebut dikhawatirkan bisa memicu kerusakan struktural pada terumbu karang, yang merupakan ekosistem penting bagi kehidupan bawah laut. Aktivitas ini pun menjadi perhatian serius karena berlangsung di kawasan pesisir yang rentan terhadap gangguan ekologis.

Berdasarkan penelusuran, aksi battle sound tersebut berlangsung di dua lokasi: Dusun Pasir Panjang, Desa Wates, Kecamatan Nguling, dan Desa Semedusari, Kecamatan Lekok, Kabupaten Pasuruan. Kegiatan ini digelar bertepatan dengan perayaan Lebaran Ketupat, sebuah tradisi tujuh hari setelah Idul Fitri yang kerap dirayakan dengan cara unik oleh warga.

Konfirmasi datang dari Kasubnit Lidik Polairud Pasuruan, Aipda Laswanto, yang menyatakan bahwa peristiwa tersebut benar terjadi. Ia menegaskan bahwa meski tampak dilakukan di laut, nyatanya lokasi pertunjukan tetap berada di sepanjang garis pantai.

"Kapal-kapal tersebut sebenarnya tidak benar-benar melaut. Ombak besar dan beratnya perangkat sound membuat mereka tidak bisa berlayar jauh. Jika dipaksakan, bisa berisiko terjadi kecelakaan laut," ujarnya saat dikonfirmasi, Minggu (18/5/2025).

Laswanto juga menambahkan bahwa kegiatan ini tidak mengantongi izin resmi dari pihak kepolisian, meskipun kabarnya didukung oleh aparat desa dan diinisiasi secara mandiri oleh warga.

Sejauh ini, pihak kepolisian belum menerima laporan adanya kejadian serupa setelah momentum Lebaran Ketupat berlalu. Namun demikian, dampak ekologis dari kejadian ini tetap menjadi sorotan, terlebih belum ada regulasi yang secara spesifik melarang penggunaan sound system skala besar di kawasan laut atau pesisir.

Para ahli lingkungan menyebut, kebisingan bawah laut telah lama menjadi “ancaman senyap” bagi keanekaragaman hayati laut, terutama di wilayah tropis seperti Indonesia yang kaya akan biota laut.

“Ekosistem laut sangat sensitif terhadap perubahan suara. Banyak spesies bergantung pada gelombang suara untuk navigasi dan komunikasi. Ketika itu terganggu, dampaknya bisa berantai,” ujar seorang peneliti lingkungan laut dari Universitas Airlangga yang enggan disebutkan namanya.

Kondisi ini menjadi ironi di tengah upaya nasional dan global untuk melindungi keberlangsungan ekosistem laut Indonesia yang semakin rentan akibat polusi, pemanasan global, dan aktivitas manusia yang merusak.

Pemerintah daerah maupun aparat kepolisian diharapkan dapat menyikapi kejadian ini dengan kebijakan preventif dan edukatif agar peristiwa serupa tidak kembali terjadi, terutama dengan pendekatan yang melibatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya kelestarian alam.(red.a)

Posting Komentar

0 Komentar